Tulisan ini terinspirasi setelah membaca buku konsep pemasaran Pak Hermawan Kartajaya. Begini ceritanya.
Saya termasuk dari kebanyakan orang yang takut pergi ke dokter gigi. Maklum ingat dokter gigi jadi ingat betapa ngilunya waktu gigi dibor. Terbayang sudah desingan bunyi mata bor berputar ketika ditempelkan pada gigi yang sakit. Aduuuh ....! Sereeemm! Kalau tidak karena gigi ini ada yang bolong, dan merasakan sakitnya luar biasa tidaklah mau saya pergi ke dokter gigi.
Dengan terpaksa saya pergi ke teman karib yang punya profesi sebagai dokter gigi. Nama lengkapnya drg Heru Purwanto MARS. Lokasi prateknya mudah dicari dan strategis, dilingkungan praktek dokter bersama, dibelakang Apotik Ciremai di jalan Siliwangi Cirebon.
Pada saat dirawat, drg Heru minta saya untuk memegang kaca cermin. Tujuannya? Supaya saya dapat melihat apa yang dikerjakannya. Awalnya saya ogah. Lebih baik tidak melihat sama sekali. Merem tidak melihat rasanya akan lebih baik! Namun akhirnya saya jadi berani untuk melihat dan terbiasa. Kenapa? Karena lewat kaca tadi saya jadi tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Saya jadi tidak takut lagi! Justru karena langsung melihat itulah saya jadi menghargai apa yang dikerjakannya.
Kesan saya, jadi dokter gigi itu cukup susah. Pertama, harus memandang mulut orang yang bau. Kedua, harus telaten dalam melaksanakan pekerjaannya. Ketiga, dia mesti punya pengetahuan yang cukup tinggi, karena harus lulus dari perguruan tinggi dibidang kedokteran gigi. Istimewanya lagi, selama dirawat saya diajak ngobrol. Tentang apa? Ya macam-macam, dari urusan anak balita, ABG sampai orang tua. Hobinya pak dokter dari olah raga sampai olah vocal. Maklum dia dokter gaul yang suka nyanyi dan berani pentas didepan umum. Pendek kata drg Heru Purwanto dokter gaul yang cukup popular di kota Cirebon. Asik juga!
Sikap dan perilakunya cukup ramah dalam menghadapi pasiennya, maka konsumen seperti saya jadi lekas merasa puas. Rasa takut berubah jadi rasa aman dan nyaman. Selain itu, saya jadi bisa menghargai nilai (value) dari pekerjaannya. Itulah yang dinamakan delivering customer value by showing the servise performance. Artinya nilai tambah yang diberikan kepada pelanggan dengan memperlihatkan pelayanan yang baik.
Hal yang sama juga terjadi kalau kita makan di restoran Jepang, terutama di Tempayaki. Disitu kita tidak sekedar makan, tapi juga melihat atraksi. Kokinya pasti akan akan memperlihatkan kebolehannya memasak. Bukan cuma untuk memasak, tapi juga menjelaskan jenis-jenis daging, sayur bahkan bawang yang digunakan. Dia juga selalu menanyakan kepada kita tentang tingkat kematangan dagingnya. Selama menyiapkan menu, dia akan mengajak ngobrol. Tentang apa? Tentang apa saja yang anda mau. Tentu saja selama dia bisa menjawab.
Hal serupa tapi tak sama juga terjadi kalau kita membawa sepeda motor ke bengkel Honda. Para montir disitu diajarkan untuk selalu memperlihatkan bagaimana mereka bekerja. Karena itu, bengkel harus selalu dijaga kebersihannya. Dengan melihat bagaimana si montir bekerja, si konsumen jadi puas. Kenapa? Dia bisa melihat bagaimana ketrampilan si montir. Selain itu juga bisa menyaksikan keaslian suku cadang yang dipasang pada sepeda motornya.
Ketiga contoh ini adalah adalah kejadian sehari hari yang biasa terjadi di mana-mana. Tapi mengandung sebuah pelajaran yang berarti. Bahwa pelayanan atau servis memang sesuatu yang abstrak dan sulit dimengerti. Dan karena sulit dimengerti, susah pula dihargai.
Kalau konsumen diberi kesempatan untuk melihat bagaimana servis itu dikerjakan, maka berarti ada satu dimensi lagi yang ditambahkan. Bukan suma hasil (result) yang dijual, tapi juga proses (process).
Dalam hal dokter gigi tadi, proses pekerjaan merawat gigi diperlihatkan dan diperhatikan. Dalam hal koki masakan Jepang adalah proses memasaknya. Sedangkan pada montir tadi adalah pelayanan melakukan perbaikan sepeda motor.