Tulisan ini disusun 1,5 tahun yang lalu, waktu saya memutuskan untuk berhenti pada usaha Mebel Rotan di Cirebon. Tulisan ini pernah dimuat Koran Radar Cirebon. Tulisan lengkapnya sebagai berikut :
Dua pekan yang lalu saya diajak rekan bisnis yang bergerak dibidang Batik Cirebon, berkunjung ke kantor Mark Plus. Gedung tujuh lantai yang terletak dikawasan Segitiga Emas Business Park CBD B 01/01 Jl. Prof Dr Satrio Kav 6 Jakarta merupakan markas besarnya Mark Plus & Co. Mendengar Mark Plus sebagian pengusaha Indonesia pasti mengenal siapa aktor dibelakangnya. Hermawan Kartajaya pakar marketing yang sudah tidak asing lagi. Pertemuan dengan orang Surabaya yang kini dijuluki sebagai salah seorang dari 50 guru marketing kelas dunia sekaligus pimpinan puncak MarkPlus & Co ini begitu akrab, santai namun mengena.
INDUSTRI RAKYAT BERORIENTASI EKSPOR
Sebagai pengusaha yang mengais rejeki di Cirebon kami berdua bercerita bagaimana industri daerah mampu memberikan nafkah bagi ratusan ribu masyarakat sekitarnya. Berbagai industri kerajinan rakyat, sejak puluhan bahkan ratusan tahun lalu tumbuh subur di Cirebon mulai dari kerajinan rotan, batik, sandal, gerabah, pande besi, gula, makanan kering, hingga mainan anak-anak yang sebagian besar berorientasi ekspor. Namun demikian industri yang menjadi gantungan hajat hidup rakyat banyak, satu persatu mulai ambruk karena tidak mampu bersaing dengan pasar global.
INDUSTRI kerajinan tangan rakyat di Cirebon secara ekonomi tidak bisa dianggap enteng. Industri rotan di Tegalwangi, Kecamatan Plumbon, misalnya, merupakan industri padat karya yang mampu menyerap lebih dari 400.000 tenaga kerja, termasuk tenaga kerja yang terserap sektor pendukungnya seperti transportasi, akomodasi dan konsumsi.
Sebelum diterpa banyak masalah industri mebel dan kerajinan rotan di Tegalwangi, Cirebon, rata-rata mampu mengekspor 1.500 kontainer per bulan ke berbagai negara di Eropa, Amerika, Asia dan Australia. Jika rata-rata berat per kontainer sekitar 3 ton dijual dengan harga sekitar 8.000-9.000 dollar AS per kontainer, berarti kontribusi ekspor rotan Cirebon sekitar 13,5 juta dollar AS setiap bulan atau Rp 135,5 milyar dengan kurs Rp 10.000 per dollar AS. Pendapatan yang sungguh sangat besar untuk ukuran wilayah setingkat Kabupaten.
Akan tetapi setelah banyak masalah menghadang, kemampuan ekspor kerajinan rotan turun menjadi berkisar +/- 500 kontainer saja per bulan. Berbagai masalah menghadang industri rotan Cirebon, mulai dari sulit dan mahalnya bahan baku, meningkatnya biaya produksi (ekonomi biaya tinggi), sepinya order (market) hingga harga jual yang semakin merosot.
Tahun 1995 mebel rotan Cirebon masih bisa bersaing dengan mebel rotan produksi China, tetapi sekarang China tak bisa disepelekan. Dari sisi desain dan kualitas, mereka tak kalah dari produk kita, sementara harganya bisa jauh lebih murah dari produk mebel rotan Cirebon. Padahal Indonesia menguasai sekitar 80 persen bahan baku rotan dunia. Dengan dibukanya kran ekspor bahan baku rotan oleh Pemerintah dikuatirkan industri mebel Cirebon akan semakin terpuruk.
Kebijakan menaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), ikut menambah beban derita industri mebel rotan Cirebon. Meningkatnya harga bahan baku rotan, upah tenaga kerja, bahan finishing, dokumen ekspor dan biaya overhead lainnya tak mampu menahan tingginya harga pokok produksi mebel rotan Cirebon. Belum lagi beban bunga bank serta pungutan pajak dan retribusi daerah menjadikan harga jual produk mebel rotan Cirebon semakin tidak mampu bersaing dengan negara produsen lainnya.
Kekuatiran Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) Ir Soenoto perihal ambruknya industri mebel atau furnitur di Indonesia dalam waktu kurang dari lima tahun ke depan menjadi pembahasan kami dengan Pak Hermawan Kartajaya.
Mendengar situasi dan kondisi tersebut pakar marketing ini berpendapat bahwa “Melimpahnya Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia (SDM) di negeri kita mendorong pengusaha kita agar lebih kreatif menciptakan atau membuat produk yang kemudian menjualnya ke pasar. Namun kelemahan yang tidak disadari pengusaha kita dalam berdagang adalah masih bersifat production oriented belum kepada market oriented apalagi customer-centric.
GLOBALISASI DAN TEKNOLOGI MENDORONG PERUBAHAN
Globalisasi dan teknologi sering juga disebut sebagai penyebab situasi persaingan usaha mendadak jadi kacau balau (chaostic). Menurutnya Globalisasi sendiri sebenarnya bukan barang baru, sejak dulu para pedagang sudah berpergian ke luar negeri bahkan luar benua untuk menawarkan produk dagangannya. Ingat jalan sutra (Silk Road). Indonesiapun dijajah Belanda, karena disini banyak rempah-rempah yang merupakan komoditi langka di Eropa. Hanya masalahnya, globalisasi pada waktu itu berjalan sangat pelan. Namun dengan adanya teknologi informasi yang demikian hebat maka globalisasi jadi menghebat. Kenapa? Karena informasi jadi transparans. Dengan demikian, perbedaan harga bisa cepat diketahui. Begitu juga dengan perbedaan kesempatan yang ada diberbagai tempat bisa cepat diperbandingkan.
Karena itu, perdagangan dan investasi mendadak saja jadi mengglobal. Orang dengan mudah memanfaatkan informasi yang mudah dan murah tersebut untuk berdagang kemana saja dan melakukan investasi dimana saja. Pokoknya untung. Apalagi lembaga dunia yang punya “global govermence power” juga ikut campur untuk menghapuskan segala macam hambatan. Walaupun pemerintah lokal ingin melindungi pasarnya, tapi lama-kelamaan pertahanan jebol juga.
Dalam situasi seperti itu, perusahaan-perusahaan biasanya punya proses kerja dengan berorientasi pada produksi, penjualan atau paling-paling pemasaran sesuai dengan situasi persaingan masing-masing. Ketika situasi persaingan masih stabil, maka perusahaan akan product-oriented. Pokoknya, membuat barang atau jasa dengan harga semurah-murahnya. Efisiensi jadi panglima. Bagaimana dengan kebutuhan dan kemauan pasar? Itu tidak terlalu perlu, karena pasarnya toh belum “pintar”.
Ketika globalisasi mulai berjalan, biasanya sudah mulai terjadi perubahan atau change yang diskontinue. Inilah yang ia sebut sebagai situasi persaingan njelimet atau sophisticated. Yang membuat perubahan itu makin surprise terjadilah situasi persaingan yang disebut chaos (kacau balau).
Lantas bagaimana dengan teknologi? Teknologi sudah menjadi primary force of change dari waktu ke waktu. Dan teknologilah yang selalu mendorong globalisasi. Lihat saja waktu revolusi industri terjadi. Produksi jadi berlebih lebihan, maka harus diekspor, karena akan mubazir bila dibiarkan.
Apalagi dengan adanya teknologi informasi yang memungkinkan munculnya informasi yang lebih cepat dan tepat, kemana barang itu mesti dibawa, dan juga dimana sebaiknya barang itu mesti dibuat.
Karena itu globalisasi dibidang perdagangan dan investasi itu memang jadi tumbuh hebat dengan adanya teknologi informasi. Disamping itu, teknologi informasi sudah jadi makin murah ketika pembuatannya mulai dilakukan dimana-mana. Jadi globalisasi dan teknologi memang saling memperkuat satu sama lain.
Pada kesempatan terakhir saya berharap kepada Pak Hermawan agar dapat menyempatkan diri berkunjung ke Cirebon untuk berbagi ilmu dan pengalaman dengan teman teman pengusaha didaerah dalam rangka mempertahankan industri rakyat yang berpihak kepada keadilan, kemakmuran untuk bangsa negara kita tercinta. Jangan biarkan anugrah yang sudah diberikan oleh Yang Maha Pencipta berupa sumber daya alam dan sumber daya manusia yang melimpah menjadi duka nestapa karena ketidakmampuan kita untuk mengelolanya.