Minggu 28 Sept 2008 jam 09.00 pagi saya berencana mudik ke Cirebon. Walau acara pulang ke Cirebon hampir dilakukan seminggu sekali, namun menjelang lebaran ini terasa berbeda. Acara pulang ke Cirebon kali ini cukup memberi kesan yang mendalam bagi saya.
Sungguh pemandangan yang memprihatinkan melihat banyaknya orang yang berjuang untuk bisa masuk kedalam kereta api dengan cara berjubel dan berhimpit-himpitanan. Ritual massal setiap tahun yang selalu berulang. Apa yang membuat mereka rela bersusah payah menempuh perjalanan yang melelahkan itu. Berjubelan di atas kereta api atau berhimpitan di dalam bus.
Sampai di Cirebon pemandangan memprihatinkan nampak di jalur pantura. Fenomena yang baru berlangsung beberapa tahun terakhir adalah mudik dengan sepeda motor. Tidak tanggung-tanggung tujuannya, hampir ke semua kota di pulau Jawa. Sungguh tidak masuk akal, naik motor bersama istri dan 2 anak yang masih balita serta barang bawaan berupa setumpuk oleh-oleh untuk orang di kampung. Satu anak balita ditaruh di depan seolah-olah sebagai tameng bapaknya dari hembusan angin. Satu anak lagi yang masih bayi digendong oleh ibunya di belakang. Di belakang ibunya ada tumpukan barang berisi baju dan oleh-oleh. Semuanya cukup dengan satu sepeda motor saja. Seperti sirkus saja tampaknya.
Iring-iringan pemudik memenuhi jalan-jalan di Pantura. Ratusan ribu sepeda motor berebut jalan dengan mobil dan bus. Di antara mereka ada pula rombongan sopir bajaj yang membawa bajajnya lengkap seisi keluarganya. Panas terik mau mereka tempuh. Untung saja lebaran tahun ini masih jatuh pada musim panas sehingga mereka tidak sakit terkena hujan. Mereka bagaikan orang-orang yang eksodus dari kota besar. Tujuannya satu, ingin segera pulang ke tanah asal, tempat dimana mereka dilahirkan dan dibesarkan.
Melihat pemandangan mudik, ada keharuan yang mendalam saya rasakan. Mata ini berkaca-kaca melihat pemandangan yang mengharukan itu. Begitu menggebu keinginan orang-orang untuk pulang lebaran ke kampung halaman. Padahal kalau mereka mau, mereka bisa saja pulang pada hari-hari yang lain, tidak perlu berdesak-desakan dan bersusah payah seperti itu, tetapi semua orang seolah-olah sepakat bahwa tidak afdhol kalau tidak pulang pada saat Hari Raya. Karena itu berbagai cara ditempuh supaya bisa pulang meskipun nyawa jadi taruhannya.
Mudik adalah khas orang Indonesia. Di dalam Islam tidak ada ajaran untuk mudik pada Hari Raya Idul Fitri. Namun, di dalam mudik terkandung ajaran silaturahmi. Dengan mudik, hubungan persaudaraan dengan keluarga dan kerabat di kampung tetap dijaga dan diwariskan ke anak cucu. Inilah inti ajaran Islam yaitu ajaran kasih sayang.
Dari sisi ekonomi mudik juga membawa manfaat yang tidak terbayangkan oleh ahli-ahli ekonomi. Selama 11 bulan perputaran uang nasional hanya beredar di kota-kota besar. Percaya atau tidak, delapan puluh persen uang nasional beredar di Jakarta. Para ahli ekonomi bingung bagaimana cara memindahkan peredaran uang dari Jakarta ke daerah-daerah untuk membangkitkan perekonomian di daerah itu. Jawabannya ternyata sederhana: mudik lebaran. Dengan mudik, orang-orang membawa banyak uang ke daerah. Di sana uang dibagikan ke sanak saudara, sebagian lagi dibelanjakan. Ekonomi daerah menggeliat sejenak karena kedatangan uang dalam jumlah banyak. Sektor riil berdenyut, bisnis bergerak. Meski hanya sebentar, tapi peristiwa mudik lebaran itu mampu menggerakkan sendi-sendi perekonomian daerah.
Karena itu, kegiatan mudik perlu dijaga dan dilestarikan karena besar manfaatnya, baik secara rohani maupun secara materi. Kerepotan karena mudik adalah hal yang biasa, setahun sekali tak apa-apalah. Para pemudik tidak mempermasalahkan fasilitas transportasi yang kurang memadai. Bagi mereka perjalanan mudik itu ibarat tamasya saja. Lihatlah wajah-wajah pemudik pada arus balik. Tidak terlihat keletihan pada wajah-wajah mereka, yang tampak adalah keriangan karena telah bertemu sanak saudara. Kampung halaman memang memberikan banyak inspirasi dan semangat baru untuk meniti hidup selama 11 bulan berikutnya.
Persoalan yang tidak pernah mampu dilakukan pemerintah adalah menyediakan moda transportasi yang memadai dengan aman dan nyaman. Sudah selayaknya pemerintah yang bertanggung jawab akan memperhatikan keselamatan dan kenyamanan setiap warganegaranya yang hendak melaksanakan mudik lebaran.
Sungguh pemandangan yang memprihatinkan melihat banyaknya orang yang berjuang untuk bisa masuk kedalam kereta api dengan cara berjubel dan berhimpit-himpitanan. Ritual massal setiap tahun yang selalu berulang. Apa yang membuat mereka rela bersusah payah menempuh perjalanan yang melelahkan itu. Berjubelan di atas kereta api atau berhimpitan di dalam bus.
Sampai di Cirebon pemandangan memprihatinkan nampak di jalur pantura. Fenomena yang baru berlangsung beberapa tahun terakhir adalah mudik dengan sepeda motor. Tidak tanggung-tanggung tujuannya, hampir ke semua kota di pulau Jawa. Sungguh tidak masuk akal, naik motor bersama istri dan 2 anak yang masih balita serta barang bawaan berupa setumpuk oleh-oleh untuk orang di kampung. Satu anak balita ditaruh di depan seolah-olah sebagai tameng bapaknya dari hembusan angin. Satu anak lagi yang masih bayi digendong oleh ibunya di belakang. Di belakang ibunya ada tumpukan barang berisi baju dan oleh-oleh. Semuanya cukup dengan satu sepeda motor saja. Seperti sirkus saja tampaknya.
Iring-iringan pemudik memenuhi jalan-jalan di Pantura. Ratusan ribu sepeda motor berebut jalan dengan mobil dan bus. Di antara mereka ada pula rombongan sopir bajaj yang membawa bajajnya lengkap seisi keluarganya. Panas terik mau mereka tempuh. Untung saja lebaran tahun ini masih jatuh pada musim panas sehingga mereka tidak sakit terkena hujan. Mereka bagaikan orang-orang yang eksodus dari kota besar. Tujuannya satu, ingin segera pulang ke tanah asal, tempat dimana mereka dilahirkan dan dibesarkan.
Melihat pemandangan mudik, ada keharuan yang mendalam saya rasakan. Mata ini berkaca-kaca melihat pemandangan yang mengharukan itu. Begitu menggebu keinginan orang-orang untuk pulang lebaran ke kampung halaman. Padahal kalau mereka mau, mereka bisa saja pulang pada hari-hari yang lain, tidak perlu berdesak-desakan dan bersusah payah seperti itu, tetapi semua orang seolah-olah sepakat bahwa tidak afdhol kalau tidak pulang pada saat Hari Raya. Karena itu berbagai cara ditempuh supaya bisa pulang meskipun nyawa jadi taruhannya.
Mudik adalah khas orang Indonesia. Di dalam Islam tidak ada ajaran untuk mudik pada Hari Raya Idul Fitri. Namun, di dalam mudik terkandung ajaran silaturahmi. Dengan mudik, hubungan persaudaraan dengan keluarga dan kerabat di kampung tetap dijaga dan diwariskan ke anak cucu. Inilah inti ajaran Islam yaitu ajaran kasih sayang.
Dari sisi ekonomi mudik juga membawa manfaat yang tidak terbayangkan oleh ahli-ahli ekonomi. Selama 11 bulan perputaran uang nasional hanya beredar di kota-kota besar. Percaya atau tidak, delapan puluh persen uang nasional beredar di Jakarta. Para ahli ekonomi bingung bagaimana cara memindahkan peredaran uang dari Jakarta ke daerah-daerah untuk membangkitkan perekonomian di daerah itu. Jawabannya ternyata sederhana: mudik lebaran. Dengan mudik, orang-orang membawa banyak uang ke daerah. Di sana uang dibagikan ke sanak saudara, sebagian lagi dibelanjakan. Ekonomi daerah menggeliat sejenak karena kedatangan uang dalam jumlah banyak. Sektor riil berdenyut, bisnis bergerak. Meski hanya sebentar, tapi peristiwa mudik lebaran itu mampu menggerakkan sendi-sendi perekonomian daerah.
Karena itu, kegiatan mudik perlu dijaga dan dilestarikan karena besar manfaatnya, baik secara rohani maupun secara materi. Kerepotan karena mudik adalah hal yang biasa, setahun sekali tak apa-apalah. Para pemudik tidak mempermasalahkan fasilitas transportasi yang kurang memadai. Bagi mereka perjalanan mudik itu ibarat tamasya saja. Lihatlah wajah-wajah pemudik pada arus balik. Tidak terlihat keletihan pada wajah-wajah mereka, yang tampak adalah keriangan karena telah bertemu sanak saudara. Kampung halaman memang memberikan banyak inspirasi dan semangat baru untuk meniti hidup selama 11 bulan berikutnya.
Persoalan yang tidak pernah mampu dilakukan pemerintah adalah menyediakan moda transportasi yang memadai dengan aman dan nyaman. Sudah selayaknya pemerintah yang bertanggung jawab akan memperhatikan keselamatan dan kenyamanan setiap warganegaranya yang hendak melaksanakan mudik lebaran.